Minggu, 16 Desember 2007

Hukum Onani Menurut Pandangan Islam

Dalam kamus bahasa Arab, kata "istimna" atau "Jildu" dan "Umairah" berarti mengeluarkan sperma dengan tangannya, kemudian Istimna, apabila sering dilakukan akan menjadikannya sebagai adat dan kebiasaan bagi yang melakukannya, sehingga lahirlah makna baru yaitu "Al-'Adah As-Sirriyah" yang artinya adat atau kebiasaan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Onani, masturbasi, coli, main sabun, dan lain-lain, merupakan satu istilah untuk menyatakan kegiatan yang dilakukan seseorang yang masih muda dalam memenuhi kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tangan maupun dengan menambahkan alat bantu berupa sabun atau benda-benda lain, sehingga dengannya dia bisa mengeluarkan mani dan membuat dirinya (lebih) tenang.

Istilah Onani sendiri, berasal dari kata Onan, salah seorang anak dari Judas, cucu dari Jacob. Dalam salah satu cerita di Injil, diceritakan bahwa Onan disuruh oleh ayahnya (Judas) untuk bersetubuh dengan istri kakaknya, namun Onan tidak bisa melakukannya sehingga saat mencapai puncaknya, dia membuang spermanya (mani) di luar (di kemudian hari tindakan ini dikenal dengan istilah azl (dalam bahasa Arab) atau coitus interruptus (dalam istilah kedokterannya). Dari cerita Onan ini terdapat dua versi. Ada yang berpendapat bahwa Onan berhubungan badan dengan istri kakaknya lalu membuang maninya di luar. Dan ada juga yang menyebutkan bahwa Onan tidak menyetubuhi istri kakaknya, malainkan ia melakukan pemuasan diri sendiri (coli) karena ketidak beraniannya untuk menyetubuhi sedangkan birahi di dada semakin memuncak, sehingga dari perbuatan Onan ini lahirlah istilah Onani sebagai penisbahan terhadap perbuatannya.

Pandangan Islam tentang Onani

Bila kita membaca buku-buku fiqh dan fatawa para ulama, akan dijumpai bahwa mayoritas ulama seperti Syafi'i, Maliki, Ibnu Taimiyah, Bin Baz, Yusuf Qardhawi dan lainnya mengharamkannya, dengan menggunakan dalil firman Allah SWT dalam Al-Qur'an, yang artinya:"Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka kecuali terhadap isterinya tau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa berkehendak selain dari yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas"[Al-Mu'minun : 5-7].

Ayat ini menerangkan bahawa seseorang yang menjaga kehormatan diri hanya akan melakukan hubungan seksual bersama isteri-isterinya atau hamba-hambanya yang sudah dinikahi. Hubungan seksual seperti ini adalah suatu perbuatan yang baik, tidak tercela di sisi agama. Akan tetapi jikalau seseorang itu mencoba mencari kepuasan seksual dengan cara-cara selain bersama pasangannya yang sah, seperti zina, pelacuran, onani atau persetubuhan dengan binatang, maka itu dipandang sebagai sesuatu yang melampaui batas dan salah lagi berdosa besar, karena melakukannya bukan pada tempatnya. Demikian ringkas penerangan Imam as-Shafie dan Imam Malik apabila mereka ditanya mengenai hukum onani.

Selain ayat di atas, para ulama juga menggunakan dalil dari hadis Nabi SAW, yang artinya:"Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya". Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu �alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :Pertama, Segera menikah bagi yang mampu. Kedua, Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.

Shah Waliullah Dahlawi menerangkan: Ketika air mani keluar atau muncrat dengan banyak, ia juga akan mempengaruhi fikiran manusia. Oleh sebab itu, seorang pemuda akan mulai menaruh perhatian terhadap wanita cantik dan hati mereka mulai terpaut kepadanya. Faktor ini juga mempengaruhi alat jantinanya yang sering meminta disetubuhi menyebabkan desakan lebih menekan jiwa dan keinginan untuk melegakan syahwatnya menjadi kenyataan dengan berbagai bentuk. Dalam hal ini seorang bujang akan terdorong untuk melakukan zina. Dengan perbuatan tersebut moralnya mulai rusak dan akhirnya dia akan tercebur kepada perbuatan-perbuatan yang lebih merusak.

Melakukan onani secara keseringan juga banyak membawa mudharat kepada kesehatan dan seseorang yang membiasakan diri dengan onani akan mengalami kelemahan pada badan, anggota tubuh yang tergetar-getar atau terkaku, penglihatan yang kabur, perasaan berdebar-debar dan kesibukan fikiran yang tidak menentu. Kajian perubatan juga membuktikan bahawa kekerapan melakukan onani akan memberi dampak negatif kepada kemampuan seseorang untuk menghasilkan sperma yang sehat dan cukup kadarnya dalam jangka masa panjang. Ini akan menghalangi seseorang dalam menghasilkan zuriat-zuriat bersama pasangan hidupnya bahkan lebih dari itu, mengakibatkan inpotensi seksual dalam umur yang masih muda. Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut.

Pendapat yang membolehkan

Dari hasil bacaan, kebanyakan hukum pengharamannya itu tertuju pada pemuda yang belum menikah tanpa melihat orang yang telah menikah yang tinggal berjauhan (long distance), yang mana menurut saya, Onani atau masturbasi bagi mereka termasuk ke dalam kategori ayat yang dijadikan sebagai dalil pengharamannya yaitu sebagai pengaplikasian dari memelihara kemaluan mereka agar terhindar dari hal-hal yang lebih merusak. Karena orang yang pernah merasakan nikmatnya bersetubuh akan lebih besar kemungkinannya untuk merasakan yang lain, berbeda dengan orang yang belum pernah, dan hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqh yang menyatakan bahwa:"Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat dihindari bahaya yang lebih berat". Dan akan ditemukan pula hukum yang membolehkan onani pun, tertuju pada remaja dan pemuda yang belum mampu untuk menikah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masturbasi yang dilakukan oleh orang yang telah menikah adalah boleh.

Adapun hukum yang membolehkan onani bagi remaja yang belum menikah, dapat dilihat dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa sperma atau mani adalah benda atau barang lebih yang ada pada tubuh yang mana boleh dikeluarkan sebagaimana halnya memotong dan menghilangkan daging lebih dari tubuh. Dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, kondisi ini diperketat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama-ulama Hanafiah dan fuqaha hanbali, yaitu: Takut melakukan zina, Tidak mampu untuk kawin (nikah) dan tidaklah menjadi kebiasaan serta adat.

Dengan kata lain, dengan dalil dari Imam Ahmad ini, onani boleh dilakukan apabila suatu ketika insting (birahi) itu memuncak dan dikhawatirkan bisa membuat yang bersangkutan melakukan hal yang haram. Misalnya, seorang pemuda yang sedang belajar di luar negeri, karena lingkungan yang terlalu bebas baginya (dibandingkan dengan kondisi asalnya) akibatnya dia sering merasakan instingnya memuncak. Daripada dia melakukan perbuatan zina mendingan onani, maka dalam kasus ini dia diperbolehkan onani.

Namun apa yang terbaik ialah apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW terhadap pemuda yang tidak mampu untuk kawin, yaitu hendaklah dia memperbanyakkan puasa, di mana puasa itu dapat mendidik keinginan, mengajar kesabaran dan menguatkan takwa serta muraqabah kepada Allah Taala di dalam diri seorang muslim. Sebagaimana sabdanya:"Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa di antara kamu mempunyai kemampuan, maka kawinlah, karen ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan, tetapi barangsiapa yang tidak berkemampuan, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu baginya merupakan pelindung." (HR Bukari).

Read More......

Wanita Dalam Islam Sebenarnya

Kedudukan kaum wanita dalam masyarakat Islam agak menyedihkan. Mereka dipersendakan pada sesetengah majlis syarahan agama, dikenakan beberapa peraturan yang ketat, atau disifatkan lebih rendah daripada kaum lelaki. Mereka menjadi mangsa keganasan lelaki, mangsa dalam perceraian, mangsa yang digantung tidak bertali, atau mangsa yang sanggup membuang bayi yang dilahirkannya dengan banyak kepayahan. Kemelut ini berpunca dari kejahilan yang terbit dari input yang tidak sempurna dalam didikan agama. Input yang dimaksudkan ialah ajaran daripada Allah yang terkandung di dalam al-Qur’an.
Kertas ini bertujuan untuk menyampaikan mesej yang banyak daripada Allah mengenai kaum wanita; lantas ia menjadi agak panjang. Di sini mungkin terdapat ayat-ayat Allah yang tidak pernah didengarkan oleh orang-orang yang bertanggungjawab. Semoga dengan munculnya ajaran Islam yang sebenar, iaitu daripada al-Qur’an, maka lenyaplah amalan palsu mengenai kaum wanita yang sedang diamal oleh sebahagian besar masyarakat Islam.
Ciptaan

Perempuan yang pertama dicipta Allah ialah isteri Adam. Dia dicipta untuk menjadi pasangan bagi Adam, atas kehendak Allah sendiri, Yang mencipta semuanya berpasangan (43:12). Daripada Adam dan isterinya, lahirlah kaum lelaki dan perempuan yang berkembang biak, dan pada hari ini mereka berjumlah kira-kira 5.7 bilion kesemuanya. Mereka dicipta agar takut kepada-Nya. Firman-Nya, "Wahai manusia, takutilah Pemelihara (Tuhan) kamu Yang mencipta kamu daripada jiwa yang satu, dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya (isterinya), dan daripada keduanya, ditaburkan di merata-rata banyak lelaki dan perempuan" (Ayat pertama, Surah ke 4, berjudul "Perempuan"; atau lazimnya ditulis seperti 4:1).
Pengasihan

Antara lelaki dan perempuan, Allah mengadakan pertalian persahabatan (9:71). Namun, yang paling manis sekali yang diadakan-Nya pada mereka ialah perasaan cinta dan pengasihan, seperti kata-Nya yang berbunyi "Dia mengadakan di antara kamu, cinta dan pengasihan" (30:21). Perasaan cinta dan pengasihan ini selanjutnya mengikat kedua-dua jantina ini dalam ikatan perkahwinan agar mereka dapat hidup bersama, dengan halal, dan bersatu dalam kebahagiaan.

Perkahwinan, yang disuruh Allah, adalah lawan bagi amalan zina. Ini disimpulkan setelah diperhati tiap-tiap ayat al-Qur'an yang mengandungi kata ikatan perkahwinan, di mana kata ini sentiasa dituruti kata lawannya, iaitu perzinaan. Sebagai contoh ialah ayat yang berbunyi "Maka kahwinilah mereka dengan izin keluarga mereka .... sebagai wanita-wanita dalam ikatan perkahwinan, bukan dalam perzinaan" (4:25).
Zina

Amalan zina adalah bukan sahaja dilarang, malah, ia dilarang daripada mendekatinya jua. Firman-Nya, "Dan janganlah mendekati zina; sesungguhnya ia satu kesumbangan, dan jalan yang jahat" (17:32). Lupakanlah sahaja keinginan untuk melakukan zina!

Amalan sumbang dan jahat ini bukan suatu fenomena yang baharu dalam masyarakat. Pengamalannya yang meluas adalah sejak dari zaman dahulu lagi, seperti pada zaman Nabi Yahya dan Mariam (ibu Nabi Isa), iaitu kira-kira dua ribu tahun dahulu. Andaian dibuat setelah mendapati Allah menyebut dengan jelas kepada bapa Nabi Yahya (Zakaria) bahawa anaknya yang bakal dilahirkan adalah seorang yang suci daripada kejahatan nafsu berahi (3:39), sementara Mariam pula, disebut sebagai seorang perempuan yang menjaga kemaluannya (21:91 dan 66:12). Mereka berdua tentu telah menjadi contoh teladan yang terbaik pada zaman itu.

Zina bukanlah amalan orang-orang lelaki dan perempuan yang mukmin (yang mempercayai Allah dan Kitab-Nya), kerana mereka diperintah supaya menjaga kemaluan mereka. Firman-Nya, "Katakanlah kepada orang-orang mukmin supaya mereka menundukkan pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka" (24:30). Pandangan yang tidak dikawal dan kemaluan yang tidak dijaga adalah punca berlakunya perzinaan.

Lelaki dan perempuan yang berzina, setelah sabit kesalahan, iaitu keterangan empat saksi, dihukum dengan seratus sebatan tiap-tiap seorang (24:2). Sekirannya bilangan seratus ini dikatakan hudud (had-had) Allah, maka pada hemat saya, bilangannya adalah had maksimum. Pelaksanaannya pula, menurut ayat itu lagi, hanya disaksikan oleh segolongan orang mukmin, bukan disaksikan oleh orang ramai seperti terdapat pada amalan sesetengah masyarakat Islam di dunia.

Penuduh ke atas perempuan yang berkahwin dan tidak mendatangkan empat saksi, dikenakan lapan puluh sebatan pula, dan kesaksiannya tidak lagi diterima selama-lamanya. Cakapnya tidak dipercayai lagi. (24:4)

Hukuman ke atas penzina adalah tidak seberat hukuman yang dikenakan ke atas pencuri. Pencuri lelaki dan pencuri perempuan dihukum dengan memotong tangan-tangan mereka (5:38). Itu pun juga, pada hemat saya, adalah had maksimumnya.
Tanpa bapa

Hukuman adalah hanya ke atas penzina, tidak pada anak-anak yang mereka lahirkan. Hukuman yang dikenakan ke atas anak-anak mereka berupa istilah, seperti anak luar nikah, atau anak haram, yang lazim digunakan. Sebaliknya pula, kata-kata ini tidak seharusnya menjadi sebutan orang-orang Islam, kerana ia tidak disebut, atau tidak diajar oleh Allah di dalam kitab-Nya, al-Qur'an. Justeru, anak-anak yang tidak berdosa itu sewajarnyalah tidak dizalimi dengan cercaan seperti ini.

Kezaliman pada anak-anak ini ditambah lagi apabila wujud undang-undang yang menyuruh mengosongkan tempat bagi nama bapa-bapa mereka (dan butiran lain mengenainya) pada sijil pengakuan kelahiran mereka, atau surat beranak. Walhal, surat beranak adalah suatu dokumen yang merekodkan kelahiran bayi, dan mereka pula, seperti bayi-bayi lain, tidak seperti Nabi Isa yang dilahir tanpa bapa!

Dengan tidak mencatat nama bapa, dan butiran lain mengenainya, pada surat beranak anaknya, kelihatan pula seperti dapat melepaskan kaum lelaki (yang sama-sama terlibat dalam kejahatan) daripada tanggungjawab mereka, dan selanjutnya memungkinkan mereka untuk berterusan dalam dosa zina dengan perempuan-perempuan lain.
Anak angkat

Bagi kanak-kanak, menurut al-Qur’an, seharusnya diketahui siapa bapa-bapa mereka, kerana sekiranya mereka dijadikan anak-anak angkat, maka mereka hendaklah dibinkan menurut nama bapa-bapa mereka yang sebenar. Firman-Nya, "Dan tidak juga Dia membuatkan anak-anak angkat kamu sebenarnya anak-anak kamu ... Panggillah mereka mengikut bapa-bapa mereka yang sebenar; itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui siapa bapa-bapa mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kamu dalam agama, dan peliharaan" (33:4-5).
Hukum

Malang menimpa lagi pada kanak-kanak yang lahir daripada perzinaan, kerana wujud pula dalam ajaran "Islam" suatu hukum yang menetapkan mereka (yang perempuan) boleh membatalkan air sembahyang bapa-bapa mereka dengan hanya menyentuh kulit mereka. Kedudukan mereka sama dengan perempuan lain yang halal berkahwin dengan bapa mereka.
Kesopanan

Perzinaan tidak berlaku sekiranya kesopanan dijagai, dan Allah ditakuti. Kesopanan bagi lelaki dan perempuan semasa mereka berinteraksi sebagai sahabat telah disebut, iaitu mereka diperintah supaya mengawal pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Akan tetapi, bagi kaum wanita (kerana kewanitaannya) ditambah lagi dan tambahannya adalah seperti yang tersurat di dalam sebuah ayat yang panjang berbunyi,

"Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mukmin, supaya mereka menundukkan pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak daripadanya;

Dan hendaklah mereka meletakkan penudung (mantel) mereka pada dada mereka, dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau bapa mereka, atau bapa suami mereka, atau anak lelaki mereka, atau anak lelaki suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara lelaki mereka, atau anak lelaki saudara perempuan mereka, atau perempuan mereka, atau apa yang tangan kanan mereka memiliki (hamba daripada rampasan perang),

Atau lelaki yang melayan mereka yang tanpa mempunyai keinginan seks, atau kanak-kanak kecil yang belum mengerti aurat (bahagian-bahagian sulit) perempuan" (24:31).

Ayat ini menggesa kaum wanita supaya tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang-orang yang rapat seperti yang telah disebut. Kata perhiasan selalu dituju kepada barang-barang kemas. Akan tetapi perhiasan perempuan di sini bermaksud bahagian anggotanya yang di dada, yang digesa supaya ditutup dengan penudung. Penudung, atau kata Arabnya di situ, khumur, adalah bukan tudung kepala perempuan. Dalam bahasa Inggeris ia adalah veil yang juga tidak bermaksud tudung kepala perempuan. Lazimnya tudung kepala perempuan dikaitkan dengan jilbab (33:59), juga diterjemah kepada 'penudung', yang bermaksud "pakaian luar; gaun panjang yang menutupi seluruh badan, atau mantel yang menutupi leher dan payudara" [The Holy Qur'an, Abdullah Yusuf Ali (1946), halaman 1126, nota kaki 3765]. Ia bukan tudung kepala.

Maka, pakaian wanita haruslah labuh dan menutup bahagian dada mereka. Atau dada ditutup dengan sehelai kain lain yang dipanggil khumur.

(Tudung kepada yang kini dipakai oleh kaum wanita adalah 'mandil' dalam bahasa Arab. Ia bermaksud kerchief; handkerchief; head kerchief, dalam bahasa Inggeris. Tetapi ia tidak terdapat di dalam al-Qur'an.)
Tudung Kepala

Apa yang dikatakan perhiasan itu tidak termasuk bahagian-bahagian anggota di kepala seperti rambut, mata, mulut, hidung, telinga, dan pipi wanita. Andaikata bahagian-bahagian anggota wanita ini wajib ditutup, dengan tudung kepala supaya tidak dilihat oleh lelaki (seperti yang diwajibkan dalam ajaran agama ulama palsu), maka kaum lelaki pun patut menutup bahagian-bahagian tersebut kerana kaum wanita juga boleh berkeinginan pada lelaki dengan hanya melihat bahagian-bahagian tersebut. Kemungkinan ini dibayangkan Allah di dalam al-Qur'an dengan sebuah cerita mengenai Nabi Yusuf yang digoda oleh wanita-wanita, termasuk isteri pembesar, kerana dia kelihatan begitu menawan (iaitu daripada bahagian-bahagian anggotanya yang dapat dilihat).

Perhiasan wanita boleh bermaksud payudaranya. Payudara perempuan yang lanjut usia pun tidak seharusnya dinampakkan seperti perempuan lain. Firman-Nya, "Bagi perempuan-perempuan yang melewati umur mengandung, dan tiada harapan untuk berkahwin, tidak ada kesalahan ke atas mereka untuk menanggalkan pakaian mereka, tanpa menunjuk-nunjukkan perhiasan; tetapi jika mereka menahan, adalah lebih baik bagi mereka" (24:60).

Malah, dalam sebuah ayat yang terdahulu di dalam al-Quran, mengenai pakaian manusia, Allah menyatakan bahawa Dia telah menurunkan "pakaian untuk menutupi bahagian-bahagian aib" (7:26). Tentu sekali maksud kata bahagian aib itu tidak termasuk bahagian-bahagian di kepala wanita, mahupun lelaki.

Dengan adanya beberapa petunjuk daripada al-Qur’an, maka Islam yang sebenar tidak mewajibkan wanita bertudung kepala.

Kata aurat yang turut disebut di dalam ayat yang panjang tadi (24:31) bermaksud bahagian-bahagian sulit, yang orang-orang berkeinginan seks meminati, tetapi tidak dimengertikan oleh kanak-kanak kecil. Kata ini memang sudah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam Islam. (Sila rujuk Kalimat aurat di dalam al-Qur'an.)

Lesbian

Selain zina, seseorang wanita itu boleh melakukan kesumbangan akibat nafsu berahinya pada yang sejantina dengannya. Bagi kesalahan ini, pesalah dikurung, yang ada kalanya sampai mati. Firman-Nya, "Dan perempuan-perempuan kamu yang melakukan kesumbangan, panggillah empat di antara kamu untuk menyaksikan terhadap mereka; dan jika mereka menyaksikan, tahanlah mereka di dalam rumah-rumah mereka sehingga kematian mematikan mereka, atau Allah mengadakan bagi mereka satu jalan" (4:15).

Hukuman bagi lesbian adalah tidak sama dengan hukuman yang dijatuhkan ke atas penzina.
Sama

Beralih kepada soal sama ada lelaki dan perempuan itu sama. Sebenarnya, mereka adalah sama di sisi Allah. Kesamaan mereka adalah pada:

1. usaha untuk mencari pemberian daripada Allah. Firman-Nya, "Bagi orang lelaki, sebahagian daripada apa yang mereka mengusahakan, dan bagi orang perempuan, sebahagian daripada apa yang mereka mengusahakan. Dan mintalah kepada Allah pemberian-Nya" (4:32).

2. keimanan dan ganjaran daripada Allah. Firman-Nya, "Lelaki yang muslim dan perempuan yang muslim, dan lelaki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, dan lelaki yang patuh dan perempuan yang patuh, dan lelaki yang benar dan perempuan yang benar, dan lelaki yang sabar dan perempuan yang sabar, dan lelaki yang merendah hati dan perempuan yang merendah hati, dan lelaki yang bersedekah dan perempuan yang bersedekah, dan lelaki yang berpuasa dan perempuan yang berpuasa, dan lelaki yang menjaga kemaluan mereka dan perempuan yang menjaga, dan lelaki yang mengingat Allah dengan banyak dan perempuan yang mengingat - bagi mereka, Allah menyediakan keampunan dan upah yang besar" (33:35).

Pendek kata, seperti kata Allah juga, "Sesiapa membuat kerja-kerja kebaikan, lelaki atau perempuan, dan dia seorang mukmin, mereka akan masuk Taman (syurga), dan tidak dizalimi satu bintit pun" (4:124). Kata mukmin bererti believer dalam bahasa Inggeris.

3. jodoh masing-masing, iaitu yang jahat bagi yang jahat dan yang baik bagi yang baik. Firman-Nya, "Wanita-wanita yang buruk untuk lelaki-lelaki yang buruk, dan lelaki-lelaki yang buruk untuk wanita-wanita yang buruk; wanita-wanita yang baik untuk lelaki-lelaki yang baik, dan lelaki-lelaki yang baik untuk wanita-wanita yang baik" (24:26), dan,

4. hukum, seperti hukum zina yang berbunyi, "Perempuan yang berzina, dan lelaki yang berzina, sebatlah tiap-tiap seorang daripada mereka dengan seratus sebatan" (24:2), dan hukum bagi pencuri, berbunyi "Dan pencuri lelaki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya sebagai satu balasan ke atas apa yang mereka mengusahakan" (5:38).
Hak

Begitulah juga dengan hak. Kaum wanita mempunyai hak yang sama dengan kaum lelaki. Hak yang sama ini diberikan Allah kepada mereka dengan firman-Nya yang berbunyi, "Bagi perempuan ada hak yang baik seperti yang ke atas lelaki" (2:228).
Perbezaan

Namun begitu, mungkin kerana perbezaan pada kromosom antara lelaki dan perempuan membuatkan ada sedikit perbezaan, dan perbezaannya adalah dalam tanggungjawab. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskannya adalah seperti di bawah:

1. "Tetapi para lelaki mereka adalah satu darjat di atas mereka” (2:228). Darjat di sini, menurut konteksnya, adalah hak suami untuk mengambil balik isteri yang diceraikan apabila mereka ingin membetulkan antara mereka.

2. "Lelaki-lelaki adalah pengurus-pengurus urusan perempuan, dengan sebab Allah melebihkan sebahagian mereka di atas sebahagian yang lain, dan kerana mereka menafkahkan (membelanjakan) daripada harta mereka" (4:34). Kaum lelaki dipertanggungjawabkan sebagai pengurus urusan perempuan kerana kaum lelakilah yang membelanjakan. Kaum lelaki menyara hidup kaum perempuan, dan bukan sebaliknya.

Pada sebuah ayat yang lain pula, Allah menyatakan, "Adalah atas bapa untuk memberi rezeki dan pakaian mereka dengan baik" (2:233). Ayat ini bersangkut hal perceraian; sehingga dalam keadaan begini pun bapa dipertanggungjawabkan menyara anak-anaknya.

3. "Atau jika kedua-duanya bukan lelaki (saksi-saksi dalam perjanjian perdagangan yang tidak bertulis), maka seorang lelaki dan dua orang perempuan, saksi-saksi yang kamu berpuas hati, bahawa jika salah seorang daripada keduanya sesat, yang lagi seorang akan mengingatkannya" (2:282). Pendapat orang berbeza tentang sebab diadakan dua saksi perempuan untuk mengganti seorang saksi lelaki dalam perjanjian perdagangan yang tidak bertulis.

4. "Allah mewasiatkan kamu mengenai anak-anak kamu; bagi lelaki serupa dengan bahagian dua perempuan ..." (4:11). Ini adalah bunyi permulaan ayat yang menetapkan bahagian-bahagian yang diterima oleh kaum lelaki dan perempuan dalam pembahagian harta pesaka. Dalam pembahagiannya, kaum lelaki mendapat lebih. Tentulah ada hikmahnya. Namun begitu, wasiat daripada Allah ini hanya ditaati sekiranya si mati tidak membuat sebarang wasiat yang tersendiri. (Sila rujuk 4:11, 4:12, dan 4:176, untuk mengetahui dengan lebih lanjut mengenai pembahagian harta pesaka. Terima kasih.)

Demikianlah beberapa ketidaksamaan antara lelaki dan perempuan yang tersurat di dalam al-Qur’an.
Dipuja

Seperti pada ciptaannya, yang disifatkan Allah sebagai satu daripada ayat-ayat-Nya, atau satu daripada kebesaran-Nya (30:21), kaum wanita memang istimewa. Mereka dipuja, dan ada pula yang dijadikan sebagai:

1. tuhan, atau dewi, atau goddess, dengan dipuja, diseru, dan dijadikan tempat untuk memohon. Firman-Nya, "Tiadalah yang mereka seru selain daripada Dia melainkan perempuan" (4:117). Mungkin ayat ini ditujukan juga kepada sesetengah manusia (lelaki terutamanya) yang mengutamakan perempuan lebih daripada keutamaan kehendak Allah ke atasnya. Lelaki seperti ini bertuhankan perempuan.

2. satu tanda kesenangan hidup di dunia. Firman-Nya, "Dinampakkan indah bagi manusia ialah kecintaan hawa nafsu (syahwat) daripada perempuan-perempuan, dan anak-anak, dan menimbunkan timbunan emas dan perak, dan kuda-kuda yang ditanda, dan binatang ternak, dan tanaman. Itulah kesenangan kehidupan dunia" (3:14).

Begitu kuat sekali pengaruh perempuan ke atas lelaki sehingga Nabi sendiri telah dapat ditewaskan apabila baginda melalaikan hukum Allah dan mengutamakan kehendak isteri-isterinya. Kisah ini diriwayatkan Allah di dalam al-Qur'an berbunyi, "Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan bagi kamu, untuk mencari kepuasan hati isteri-isteri kamu?" (66:1). Tentulah Nabi sangat sayang pada isteri-isterinya.
Perkahwinan

Perasaan cinta dan pengasihan antara lelaki dan perempuan, yang dikurniakan Allah, berjaya memujuk kebanyakan mereka untuk hidup bersama, dan bersatu, dalam ikatan perkahwinan. Perkahwinan yang disuruh Allah telah menjadi sunnah semua Rasul (13:38), termasuk Nabi Isa.

Lalu kaum wanita menjadi isteri-isteri. Isteri dicari dengan menggunakan harta. Mereka dicari bukan untuk perzinaan, tetapi untuk diikat dalam ikatan perkahwinan. Firman-Nya, "Dihalalkan bagi kamu .... adalah bahawa kamu mencari, dengan menggunakan harta kamu, dalam ikatan perkahwinan, bukan dalam perzinaan ..." (4:24).

Manakala bagi lelaki yang tidak berharta tetapi ingin mengahwini perempuan mukmin yang merdeka, mereka akan mengahwini hamba yang mukmin, atau mereka bersabar. Firman-Nya, "Dan sesiapa di antara kamu yang tidak mempunyai kemewahan untuk membolehkan mengahwini wanita-wanita merdeka yang mukmin, maka dia mengambil pemudi kamu yang mukmin yang tangan kanan kamu memiliki .... dan lebih baik bagi kamu jika kamu bersabar" (4:25).

Isteri menjadi teman hidup dan tempat berehat bagi suami. Firman-Nya, "Dan daripada ayat-ayat-Nya ialah bahawa Dia menciptakan untuk kamu, daripada diri-diri kamu sendiri, teman-teman hidup (isteri), supaya kamu berehat pada mereka" (30:21).

Keselesaan, kemesraan, dan kepuasan yang dinikmati bersama antara suami dan isteri dirakamkan lagi di dalam al-Qur’an dengan sebuah ayat yang berbunyi, "Mereka (isteri) adalah pakaian bagi kamu, dan kamu, pakaian bagi mereka" (2:187).

Selain daripada dapat menjauhkan kaum wanita dari kancah perzinaan, perkahwinan juga melepaskan mereka daripada dijadikan teman rahsia (secret lover). Kata “teman rahsia” terbit dua kali di dalam al-Qur'an, iaitu pada ayat 4:25 dan 5:5. Allah melarang menyimpan teman rahsia.
Halal

Orang-orang yang halal dikahwini telah disenaraikan Allah di dalam al-Qur’an. Senarai itu kini disusun seperti di bawah ini:

1. bujang. Firman-Nya, "Kahwinlah orang-orang yang tanpa teman hidup di kalangan kamu" (24:32),

2. janda. Firman-Nya, "Tidak ada kesalahan ke atas kamu mengenai lamaran kepada perempuan-perempuan (janda) yang kamu menawari" (2:235),

3. ahli Kitab. Firman-Nya, ".. dan menikahi wanita-wanita daripada mereka yang diberi al-Kitab sebelum kamu" (5:5),

4. hamba yang mukmin. Firman-Nya, "maka dia mengambil (sebagai isteri) pemudi kamu yang mukmin yang tangan kanan kamu memiliki" (4:25),

5. anak yatim, dan kanak-kanak yang ditindas. Firman-Nya, "... mengenai anak-anak yatim perempuan, yang kepadanya kamu tidak memberikan apa yang ditetapkan untuk mereka, tetapi kamu ingin mengahwini mereka, dan kanak-kanak yang ditindaskan" (4:127),

6. anak tiri daripada isteri yang belum dimasuki. Firman-Nya, "... dan (diharamkan berkahwin) anak-anak tiri perempuan kamu yang dalam penjagaan kamu daripada isteri-isteri kamu yang kamu telah memasuki - tetapi jika kamu belum memasuki mereka, maka tidaklah bersalah ke atas kamu" (4:23),

7. bekas isteri anak angkat. Firman-Nya, "tidak ada kesalahan ke atas orang-orang mukmin dalam hal isteri-isteri anak-anak angkat mereka" (33:37),

8. wanita mukmin yang lari daripada suami yang kafir. Firman-Nya, "... dan tiada kesalahan ke atas kamu untuk mengahwini mereka (yang lari daripada suami yang kafir)" (60:10), dan

9. sepupu, seperti yang disebut di dalam sebuah ayat yang khusus bagi Nabi berbunyi, "Wahai Nabi, Kami telah menghalalkan untuk kamu isteri- isteri kamu yang kamu telah memberikan upah mereka, dan apa yang tangan kanan kamu memiliki, daripada rampasan perang yang Allah memberikan kamu, dan anak-anak perempuan bapa-bapa saudara kamu sebelah bapa kamu dan emak-emak saudara sebelah bapa, bapa-bapa saudara kamu sebelah ibu dan emak-emak saudara sebelah ibu, yang berhijrah bersama kamu, dan mana-mana perempuan yang mukmin, jika dia menyerahkan dirinya kepada Nabi dan jika Nabi menghendaki untuk mengahwininya, yang untuk kamu khasnya, bukan untuk orang-orang mukmin yang lain" (33:50). Kelebihan Nabi dalam memilih isteri ialah dia dibenarkan berkahwin dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada dia.

Haram

Begitu juga Allah telah menyenaraikan beberapa golongan yang haram dikahwini. Mereka terdiri daripada:

1. yang enggan. Firman-Nya, "tidak halal bagi kamu untuk mewarisi perempuan-perempuan dengan paksa" (4:19),

2. bekas isteri bapa. Firman-Nya, "Dan janganlah mengahwini perempuan-perempuan yang bapa-bapa kamu telah mengahwini" (4:22),

3. ibu bapa, anak-anak sendiri, adik-beradik, ibu atau bapa saudara dan anak-anak saudara. Firman-Nya, "Diharamkan kepada kamu adalah ibu-ibu kamu, dan anak-anak perempuan kamu, dan saudara-saudara perempuan kamu, dan ibu-ibu saudara kamu sebelah bapa dan sebelah ibu kamu, dan anak-anak perempuan saudara lelaki kamu dan saudara perempuan kamu" (4:23),

4. perempuan yang menyusukan, dan yang sesusuan. Firman-Nya, "dan ibu-ibu kamu yang menyusukan kamu, dan saudara-saudara perempuan kamu yang sesusuan" (4:23),

5. mertua, dan anak-anak tiri yang ibunya sudah dimasuki. Firman-Nya, "dan ibu-ibu isteri kamu, dan anak-anak tiri perempuan kamu yang dalam penjagaan kamu daripada isteri-isteri kamu yang kamu telah memasuki" (4:23),

6. menantu. Firman-Nya, "dan isteri anak-anak kamu yang daripada pinggang kamu" (4:23),

7. dua adik-beradik. Firman-Nya. "dan kamu himpun dua perempuan adik-beradik” (4:23),

8. isteri orang. Firman-Nya, "Dan perempuan-perempuan yang bersuami, kecuali apa yang tangan-tangan kanan kamu memiliki" (4:24),

9. penzina. Firman-Nya, "Lelaki yang berzina tidak mengahwini kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang menyekutukan; dan perempuan yang berzina, tiada yang mengahwininya kecuali lelaki yang berzina, atau lelaki yang menyekutukan; itu diharamkan kepada orang-orang mukmin" (24:3),

10. yang jahat bagi yang baik. Firman-Nya, "Wanita-wanita yang buruk untuk lelaki-lelaki yang buruk, dan lelaki-lelaki yang buruk untuk wanita-wanita yang buruk; wanita-wanita yang baik untuk lelaki-lelaki yang baik, dan lelaki-lelaki yang baik untuk wanita-wanita yang baik" (24:26),

11. yang ditalak (dicerai) sebanyak dua kali. Firman-Nya, "Jika dia menceraikannya (buat kali kedua), dia (isteri) tidak halal baginya sesudah itu sehingga dia berkahwin suami yang lain" (2:230),

12. yang menyekutukan Allah (yang mengadakan selain daripada Allah untuk menetapkan dalam gama). Firman-Nya, "Janganlah mengahwini perempuan-perempuan yang menyekutukan sehingga mereka mempercayai; hamba perempuan yang mukmin adalah lebih baik daripada perempuan yang menyekutukan, walaupun dia menarik hati kamu. Dan janganlah mengahwini orang-orang lelaki yang menyekutukan sehingga mereka mempercayai. Hamba yang mukmin adalah lebih baik daripada orang yang menyekutukan, walaupun dia menarik hati kamu" (2:221), dan akhirnya,

13. yang tidak percaya (kafir) kepada Allah dan Kitab-Nya. Firman-Nya, "Mereka (yang mukmin) adalah tidak halal bagi orang-orang yang tidak percaya, dan tidak juga orang-orang yang tidak percaya halal bagi mereka" (60:10).
Izin

Terdahulu sekali dalam perkahwinan ialah persetujuan daripada pihak diri perempuan itu sendiri. Allah jelas apabila menetapkan ini dengan firman-Nya yang berbunyi, "tidak halal bagi kamu untuk mewarisi perempuan-perempuan dengan paksa" (4:19).

Perkahwinan juga dilangsungkan dengan izin keluarga perempuan. Ini diisyaratkan Allah apabila Dia menentukan iaitu, bagi perempuan yang berstatus hamba pun, sekiranya hendak dikahwini, adalah dengan izin keluarganya. Firman-Nya, "Maka kahwinilah mereka (yang tangan kanan kamu memiliki) dengan izin keluarga mereka" (4:25).
Akad

Izin daripada keluarga perempuan dilafaz seperti pada akad nikah. Sebagai contoh akad daripada al-Qur'an ialah lafaz bapa mertua Nabi Musa tatkala dia menyerahkan anaknya kepadanya (Musa) untuk dikahwinkan, berbunyi "Aku menghendaki untuk mengahwinkan kamu dengan seorang daripada dua anak perempuanku ini, dengan kamu mengambil upah daripada aku selama lapan tahun" (28:27). Turut disebut di dalam lafaznya ialah mas kahwin, yang berupa perkhidmatan Nabi Musa kepadanya dalam tempoh masa yang ditentukan. Mas kahwin yang begini rupa adalah kerana Nabi Musa pada ketika itu seorang fakir.
Hadiah

Perempuan yang dikahwini diberi hadiah, atau mas kahwin, atau upah (menurut kata al-Qur’an), atau seperti kata yang selalu disebut orang Melayu, iaitu hantaran. Hantaran adalah suatu ketentuan menurut hukum Allah (4:24), dan diberi kepada semua perempuan yang dikahwini, termasuk kaum hamba (4:25).

Mas kahwin adalah sesuatu hadiah yang rela. Firman-Nya, "Dan berilah perempuan-perempuan mas kahwin mereka sebagai satu hadiah yang rela, tetapi jika mereka, dengan suka hati, menawarkan kepada kamu sesuatu daripadanya, maka makanlah ia dengan selera yang sihat" (4:4).
Muafakat

Keharmonian hidup sepasang suami-isteri adalah dengan adanya muafakat. Mereka berpakat dengan baik, seperti dalam urusan keluarga. Allah menunjukkan suatu muafakat dalam rumah tangga antara suami dan isteri dengan ayat berbunyi, "Para ibu akan menyusukan anak-anak mereka dua tahun genap, bagi orang yang menghendaki untuk menyempurnakan penyusuan. Adalah atas bapa untuk memberi rezeki dan pakaian mereka dengan baik .... Tetapi jika keduanya menghendaki, dengan persetujuan bersama dan perundingan, untuk menyusukan, maka tidaklah ada kesalahan ke atas mereka. Dan jika kamu berkehendak untuk mencari penyusu bagi anak-anak kamu, tidaklah bersalah ke atas kamu asal sahaja kamu menyerahkan apa yang kamu beri dengan baik; dan takutilah Allah, dan ketahuilah bahawa Allah melihat apa yang kamu buat" (2:233).

Suatu yang menarik mengenai ayat tersebut ialah ia berkontekskan penceraian. Sehingga dalam krisis begini pun Allah menyuruh supaya berunding dengan baik antara (bekas) suami dan isteri!

Atau, dalam keadaan marah dan benci, yang boleh mengakibatkan perceraian, juga disuruh-Nya bergaul dengan baik. Mungkin apa yang dibenci itu adalah suatu yang baik. Firman-Nya, "Bergaullah dengan mereka dengan baik; atau jika kamu membenci mereka, mungkin kamu membenci sesuatu padahal Allah membuatkan padanya banyak kebaikan" (4:19).
Bercampur

Kenikmatan hidup sepasang suami-isteri memuncak apabila mereka bercampur dengan baik. Masing-masing adalah pakaian bagi satu sama lain. Pakaian ini juga dipakai pada malam bulan Ramadan. Firman-Nya, "Dihalalkan bagi kamu, pada malam puasa, bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu, pakaian bagi mereka" (2:187).

Digambarkan lagi kenikmatan ini dengan firman-Nya yang berbunyi, "Perempuan-perempuan kamu adalah tanaman bagi kamu; maka datangilah tanaman kamu seperti yang kamu mengkehendaki" (2:223).

Namun, percampuran ini ada hadnya. Malah, ia diharamkan pada beberapa keadaan yang tertentu. Keadaan-keadaan itu adalah:

1. apabila bertekun di masjid, seperti pada malam bulan Ramadan. Firman-Nya, "dan janganlah mencampuri mereka sedang kamu bertekun (iktikaf) di masjid" (2:187),

2. dalam Haji. Firman-Nya, "sesiapa yang menetapkan untuk Haji padanya, tidak boleh bercampur dengan isterinya" (2:197),

3. semasa dalam haid. Firman-Nya, "maka hendaklah kamu menjauhkan daripada perempuan-perempuan semasa dalam haid, dan janganlah mendekati mereka sehingga mereka bersih. Apabila mereka telah membersihkan diri-diri mereka, maka datangilah mereka sebagaimana Allah memerintahkan kamu" (2:222). Tidak terdapat larangan lain bagi perempuan yang dalam haid di dalam al-Qur'an; tidak disebut-Nya mengenai larangan mendirikan solat, berpuasa, atau menyentuh dan membaca al-Qur’an.

4. memantangkan diri selama empat bulan. Selepas tempoh ini percampuran diharamkan, dan mereka dianggap seperti bercerai. Firman-Nya, "Bagi orang-orang yang bersumpah memantangkan diri daripada perempuan-perempuan mereka, mereka menunggu empat bulan. Jika mereka kembali, maka sesungguhnya Allah Pengampun, Pengasih. Tetapi jika mereka memutuskan untuk bercerai, maka sesungguhnya Allah Mendengar, Mengetahui." (2:226-227), dan akhirnya,

5. menzihar isteri (berkata kepada isteri, "Kamu, padaku, adalah seperti punggung ibuku"), dan tidak pula mengadakan tebusan apabila ditarik balik apa yang telah dikatakan. Percampuran diharamkan dalam situasi seperti ini. Firman-Nya, "Dan orang-orang yang menzihar isteri-isteri mereka, kemudian mereka menarik kembali apa yang mereka telah mengatakan, mereka akan memerdekakan seorang hamba sebelum keduanya menyentuh satu sama lain ... Tetapi sesiapa yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya menyentuh satu sama lain. Dan jika sesiapa yang tidak boleh, maka hendaklah dia memberi makan enam puluh orang miskin" (58:3-4).

Khatan

Menyentuh sedikit mengenai suatu yang berkaitan, yang agak sensitif, iaitu alat kelamin. Alat ini, baik bagi perempuan mahupun lelaki, tidak disuruh Allah agar ia dicacatkan, atau dikhatan. Justeru pendapat manusia berbeza mengenainya. Ramai tampil ke hadapan dengan hujah masing-masing. Ada golongan yang bersetuju, dan ramai pula yang menolak. Sungguh menarik perdebatan mengenainya. Para doktor turut memberi sumbangan dalam bentuk hasil kajian. Begitulah banyaknya artikel yang tersimpan di internet (lihat circumcision) mengenai khatan. Kebanyakan penyumbang didapati tidak bersetuju dengan khatan, terutamanya bagi perempuan, dan mereka menggunakan istilah mutilation (mencacatkan) bagi amalan ini. Lagipun, sekiranya hendak direnungkan ayat-ayat al-Qur’an mengenai ciptaan-Nya, maka terserlahlah dua buah ayat di mana Allah telah menyatakan yang Dia “mencipta segala sesuatu dengan baik” (32:7), dan dengan kata yang tegas berbunyi “Tidak ada pertukaran dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang betul; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (30:30).
Poligami

Poligami adalah halal. Amalan ini bertujuan untuk berlaku adil terhadap anak-anak yatim. Firman-Nya, "Jika kamu takut bahawa kamu tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kahwinilah perempuan-perempuan yang nampak baik bagi kamu, dua, dan tiga, dan empat" (4:3). Maksud kata “perempuan-perempuan” di sini ialah ibu-ibu, atau waris, atau penjaga anak-anak yatim tersebut.

Ayat tersebut seterusnya memberi nasihat, atau amaran, berbunyi "tetapi jika kamu takut bahawa kamu tidak akan berlaku adil, maka satu sahaja ... ia lebih dekat bagi kamu untuk tidak membuat aniaya". Ketidakadilan dalam poligami mengakibatkan penganiayaan ke atas kaum wanita. Allah benci penganiayaan.

Namun, ketidakadilan terhadap isteri-isteri tetap berlaku dalam poligami. Firman-Nya, "Kamu tidak akan boleh berbuat adil di antara isteri-isteri kamu, walaupun kamu ingin sekali" (4:129). Maka, jauhi amalan poligami!

Cara berbuat adil pada isteri-isteri pula ditunjukkan Allah di dalam ayat yang sama, berbunyi "maka janganlah kamu condong dengan seluruh kecondongan sehingga kamu meninggalkannya seperti tergantung" (4:129). “Gantung tak bertali” kerana suami condong pada madu. Itu sering berlaku. Ia dilarang Allah.
Pertelingkahan

Sedangkan lidah lagi tergigit, ini pulak suami isteri! Demikian kata dalam sebuah lagu Melayu evergreen. Pertelingkahan antara suami dan isteri dilalui dengan baik, iaitu dengan cara berunding dan bergaul dengan baik, seperti yang telah disebut di bawah tajuk Muafakat. al-Qur'an memberi dua lagi contoh pertelingkahan, dan cara-cara menyelesaikannya:

1. menuduh melakukan zina. Bagi tuduhan ini Allah menunjukkan cara penyelesaiannya yang berbunyi, "Dan orang-orang yang membalingkan kepada (menuduh) isteri-isteri mereka tanpa saksi-saksi, kecuali diri-diri mereka sendiri, maka kesaksian seorang daripada mereka ialah menyaksikan dengan Allah empat kali, bahawa dia termasuk orang-orang yang benar. Dan yang kelima, bahawa laknat Allah adalah ke atasnya, jika dia termasuk di antara pendusta-pendusta. Ia akan menghindarkannya (isteri) daripada azab, jika dia (isteri) menyaksikan dengan Allah empat kali bahawa dia (suami) adalah di antara pendusta-pendusta. Dan yang kelima, bahawa kemurkaan Allah adalah ke atasnya (isteri) jika dia (suami) termasuk orang-orang yang benar" (24:6-9).

2. kederhakaan suami atau isteri. Bagi kederhakaan suami (yang hampir tidak disebut orang mengenai kewujudannya), Allah menjelaskan dengan ayat yang berbunyi, "Jika seorang perempuan takut akan kederhakaan, atau palingan daripada suaminya, tidaklah bersalah ke atas keduanya jika mereka membetulkan di antara mereka; dan penyelesaian adalah lebih baik; dan jiwa condong kepada kehalobaan" (4:128).

Bagi isteri yang derhaka pula, tindakan yang diambil oleh suami adalah seperti pada ayat yang berbunyi, "dan mereka yang kamu takut akan menjadi derhaka, tegurkanlah mereka, dan asingkanlah mereka daripada tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Jika mereka kemudiannya mentaati kamu, maka janganlah mencari-cari sebarang jalan terhadap mereka" (4:34).

Perhatian tertumpu pada kata pukul, iaitu memukul isteri yang derhaka yang disebut di dalam ayat ini. Beberapa persoalan telah timbul. Pelbagai tafsiran telah diketengahkan. Akan tetapi, terdapat satu penjelasan yang ingin diutarakan di sini mengenai kata asal wadribu (pukul) yang terakam di dalam ayat tersebut. Sebuah terjemahan, AL-QUR’AN a contemporary translation, oleh Ahmed Ali (1984), mencatat di nota kaki (halaman 78) berbunyi antara lain ialah “wadribu , in the original, translated here ‘have intercourse’ … see Raghib, Lisan al-‘Arab and …. daraba metaphorically means to have intercourse, and quote the expression darab al-fahl an-naqah, ’the stud camel covered the she-camel,’ which is also quoted by Lisan al-‘Arab. It cannot be taken here to mean ‘to strike them (women).’"

Maka pukul di sini adalah seperti pada kata halus, bercampur, masuk, atau sentuh, bagi kata have intercourse. Lantas, isteri-isteri yang derhaka pun harus dicampuri, bukan disepak, atau ditendang, atau ditumbuk, atau dipukul dengan tuala, kain dan sebagainya.

Pendamai

Pertelingkahan suami-isteri didamaikan oleh wakil kedua-dua buah pihak sebelum berlaku perceraian. Firman-Nya, "Jika kamu takut akan perpecahan antara keduanya, bangkitkanlah seorang pendamai daripada keluarga lelaki, dan daripada keluarga perempuan, seorang pendamai. Jika mereka menghendaki untuk memperbetulkan, Allah akan menyelesaikan pertelingkahan mereka" (4:35). Dewasa ini, para peguamlah pendamai yang dianggap paling adil.

Sekiranya cara yang Allah tunjukkan diguna oleh pihak-pihak tertentu, maka wanita-wanita Islam yang dizalimi suami-suami mereka dapat dilepaskan daripada kezaliman itu dengan tanpa menunggu lama dalam penderitaan.
Nabi

Nabi juga telah mengalami krisis rumah tangga. Krisis itu, menurut al-Qur'an (66:3), berpunca dari salah seorang daripada isteri-isterinya yang membawa mulut, setelah Nabi memberitahunya sesuatu rahsia. Kemudian, dua daripada isteri-isterinya bergabung untuk menentangnya. Lantaran Allah turunkan amaran kepada mereka, dan sebahagian daripadanya berbunyi, "Mungkin, jika dia (Nabi) menceraikan kamu, Pemeliharanya (Tuhannya) akan menukarkan dengan isteri-isteri yang lebih baik daripada kamu, yang muslim, yang mukmin, yang patuh, yang bertaubat, yang warak, yang berpergian, yang janda, dan yang dara" (66:5). Dalam krisis seperti ini jua diingatkan-Nya tentang perceraian. Diingatkan-Nya jua tentang adanya wanita-wanita lain yang lebih baik daripada isteri-isteri Nabi.
Penceraian

Istilah talak satu, seperti yang lazim digunakan, sebenarnya bermaksud sekali cerai, kerana kata talak dalam bahasa Arab bermakna penceraian. Maka, dua kali bercerai dengan pasangan yang sama adalah talak dua. Oleh itu, lafaz talak tiga pada penceraian yang pertama adalah hanya karut.

Apabila perceraian tidak dapat dielakkan lagi, maka Allah akan memberi pertolongan kepada kedua-dua pihak. Firman-Nya, "Tetapi jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing daripada keluasan-Nya" (4:130). Allah memahami.

Allah amat memahami penderitaan yang dialami, lalu direstui-Nya perceraian. Kemudian, Dia didapati pula menolong kedua-dua belah pihak. Akan tetapi, bagaimana pula dengan banyaknya kes-kes cerai yang tidak diceraikan, atau digantung sekian lama? Tidakkah difahami penderitaan yang dilalui? Tidakkah kedua-dua belah pihak perlu ditolong? Tidak, sebaliknya ada pula orang yang melafazkan cerai didenda seribu ringgit!

Penceraian yang dibenarkan adalah sebanyak dua kali. Firman-Nya, "Penceraian (talak) adalah dua kali; kemudian menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik ... Jika dia menceraikannya, dia (isteri) tidak halal baginya sesudah itu sehingga dia berkahwin suami yang lain. Kemudian jika dia (suami baru) menceraikannya, maka tidaklah bersalah ke atas mereka untuk kembali kepada satu sama lain, jika mereka menyangka bahawa mereka akan melakukan had-had Allah" (2:229-230). Ini kes "cina buta".
Idah

Dalam penceraian ada tempoh, atau idah (masa menanti). Syarat-syarat dalam idah telah dihuraikan Allah dengan empat ayat yang berikut:

1. "Perempuan-perempuan yang diceraikan akan menunggu sendiri selama tiga haid, dan tidaklah halal bagi mereka untuk menyembunyikan apa yang Allah menciptakan di dalam rahim mereka jika mereka mempercayai Allah dan Hari Akhir. Pada masa itu suami-suami mereka adalah lebih berhak untuk mengembalikan mereka jika mereka menghendaki untuk memperbetulkan" (2:228),

2. "Apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan, dan mereka sampai tempoh mereka, maka tahanlah mereka dengan baik, atau lepaskanlah mereka dengan baik; janganlah menahan mereka dengan paksa untuk mencabuli; sesiapa yang berbuat demikian itu menzalimi dirinya sendiri. Janganlah mengambil ayat-ayat Allah dalam olok-olokan" (2:231),

3. "Apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan, lalu mereka sampai tempoh mereka, janganlah menghalangi mereka daripada mengahwini suami-suami mereka, apabila mereka telah saling mempersetujui di antara mereka, dengan baik. Dengan ini ditegurkan sesiapa di antara kamu yang mempercayai Allah, dan Hari Akhir. Itu lebih suci dan lebih bersih bagi kamu; Allah mengetahui, dan kamu tidak mengetahui" (2:232),
Saksi

4. "Kemudian, apabila mereka telah sampai tempoh mereka, tahanlah mereka dengan baik, atau berpisahlah daripada mereka dengan baik. Dan adakanlah saksi, dua orang yang mempunyai keadilan di kalangan kamu; dan lakukanlah kesaksian kepada Allah Sendiri. Dengan ini ditegurkan sesiapa yang mempercayai Allah dan Hari Akhir. Dan sesiapa bertakwa kepada Allah, Dia membuatkan untuknya satu jalan keluar" (65:2).

Nabi sendiri mungkin telah menceraikan isteri-isterinya, dan beliau juga disuruh Allah agar menjagai tempoh dan syarat-syaratnya. Firman-Nya, "Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan perempuan-perempuan, maka ceraikanlah mereka apabila mereka sampai tempoh mereka. Hitunglah tempoh itu, dan takutilah Allah, Pemelihara kamu. Janganlah mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan jangan juga membiarkan mereka keluar, kecuali mereka melakukan kesumbangan yang nyata. Itulah hudud (had-had) Allah; sesiapa mencabuli hudud Allah, dia menzalimi dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui mungkin setelah itu Allah mengadakan perkara yang baru" (65:1).

Namun, tempoh bagi perempuan yang putus haid, dan perempuan yang mengandung, adalah berbeza daripada perempuan lain. Firman-Nya, "Bagi perempuan-perempuan kamu yang berputus asa daripada haid selanjutnya, jika kamu ragu-ragu, maka tempoh mereka ialah tiga bulan, dan mereka yang tidak datang haid hingga kini. Dan mereka yang hamil, tempoh mereka ialah apabila mereka melahirkan kandungan mereka. Sesiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuatkan untuknya, daripada perintah-Nya, yang mudah" (65:4).

Sementara idah bagi wanita-wanita yang kematian suami ditetapkan Allah lebih lama daripada yang dikenakan ke atas wanita-wanita yang diceraikan. Firman-Nya, "Dan orang-orang di antara kamu yang mati dan meninggalkan isteri-isteri, mereka akan menunggu sendiri selama empat bulan dan sepuluh hari" (2:234).
Peruntukan

Wanita-wanita yang diceraikan diberi peruntukan, tempat tinggal, dan nafkah, sementara harta yang telah diberi kepada mereka tidak diambil balik. Dan mereka tidak ditekan untuk menyusahkan mereka. Ayat-ayat Allah yang berikut menjelaskannya:

1. "Tidak halal bagi kamu untuk mengambil daripada apa yang kamu telah memberikan mereka (isteri) kecuali keduanya takut bahawa mereka tidak dapat melakukan had-had Allah. Jika kamu takut mereka tidak dapat melakukan had-had Allah, maka tidaklah bersalah ke atas mereka untuk dia (isteri) menebus dengannya. Itulah had-had Allah; janganlah mencabulinya. Sesiapa mencabuli had-had Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim" (2:229).

Terdapat satu lagi ayat mengenai larangan mengambil balik harta yang telah diberi kepada isteri yang diceraikan, dan ayat itu berakhir dengan satu pertanyaan berbunyi, "Apa, adakah kamu mengambilnya dengan cara umpat, dan dosa yang nyata?" (4:20).

2. "Bagi wanita-wanita yang diceraikan, diberi peruntukan dengan baik sebagai suatu kewajipan bagi orang-orang yang bertakwa" (2:241).

3. "Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal, menurut kemampuan kamu, dan janganlah menekan mereka untuk menyempitkan keadaan mereka. Jika mereka mempunyai kandungan, nafkahkanlah mereka sehingga mereka melahirkan kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untuk kamu, berilah mereka upah mereka, dan bermuafakatlah di antara kamu dengan baik. Jika kamu berdua menemui kesukaran, maka perempuan yang lain akan menyusukannya" (65:6).

Ayat tersebut disusuli sebuah ayat yang menjelaskan mengenai nafkah, iaitu diberi mengikut kemampuan masing-masing, dan dalam apa keadaan jua pun, sama ada senang atau susah. Ia berbunyi, "Hendaklah orang yang mempunyai keluasan menafkahkan menurut keluasannya. Bagi orang yang rezekinya disempitkan kepadanya, maka hendaklah dia menafkahkan daripada apa yang Allah memberinya. Allah tidak membebani sesuatu jiwa melainkan dengan apa yang Dia memberikannya. Sungguh, Allah akan membuatkan, setelah kesukaran, yang mudah" (65:7).
Luar biasa

Al-Qur'an ada juga menyebut mengenai beberapa cara bercerai yang saya anggap luar biasa. Sememangnya ia, seperti kata-Nya, adalah sebuah kitab yang cukup jelas, atau terperinci, apabila ia turut menyebut tentang segala kemungkinan, seperti apa yang mungkin berlaku, bagi sesuatu perkara. Bagi penceraian, disebut-Nya empat, iaitu:

1. Memantangkan diri daripada menyentuh pasangan:

Ini mungkin berlaku dalam keadaan marah dan benci pada pasangan. Sekiranya sumpah itu berpanjangan, iaitu lebih daripada empat bulan, maka pasangan suami-isteri itu adalah seperti dalam keadaan bercerai. Firman-Nya, "Bagi orang-orang yang bersumpah memantangkan diri daripada perempuan-perempuan mereka, mereka menunggu empat bulan. Jika mereka kembali, maka sesungguhnya Allah Pengampun, Pengasih. Tetapi jika mereka memutuskan untuk bercerai, maka sesungguhnya Allah Mendengar, Mengetahui" (2:226-227). Pasangan bercerai setelah berpantang empat bulan.

2. Belum sentuh:

Bagi yang mungkin bercerai tanpa menyentuh pasangannya, Allah menurunkan tiga ayat yang menggariskan syarat-syaratnya.

i. "Tidak ada kesalahan ke atas kamu jika kamu menceraikan perempuan-perempuan sedang kamu belum menyentuh mereka, dan tidak juga menetapkan sebarang bahagian untuk mereka; namun demikian, buatlah peruntukan untuk mereka - orang yang mewah menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya - satu peruntukan dengan baik; satu kewajipan bagi orang-orang yang berbuat baik" (2:236),

ii. "Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, dan kamu telah pun menetapkan bagi mereka bahagian yang ditentukan, maka berilah setengah daripada apa yang kamu telah menetapkan, kecuali jika mereka memaafkan, atau dia memaafkan yang di tangannya ikatan perkahwinan; bahawa kamu memaafkan adalah lebih dekat dengan takwa. Janganlah melupakan pemberian sesama kamu. Sesungguhnya Allah melihat apa yang kamu buat" (2:237), dan akhirnya,

iii. "... apabila kamu mengahwini perempuan-perempuan yang mukmin, dan kemudian menceraikan mereka sebelum kamu menyentuh mereka, tiadalah tempoh (idah) bagi kamu untuk mengira terhadap mereka; maka buatlah peruntukan bagi mereka, dan lepaskanlah mereka dengan pelepasan yang manis" (33:49).

3. Zihar:

Seperti yang telah dimaklumkan, di bawah tajuk Bercampur, menzihar isteri bermaksud menyifatkan isteri sebagai punggung ibunya (suami) sendiri. Pada hemat saya, bahagian anggota yang disebut itu adalah suatu petunjuk bagi bahagian-bahagian sulit ibu yang lain, yang juga tidak boleh disamakan dengan isteri, atau suami. Kata-kata ini hendaklah ditarik balik.

Sekiranya kata-kata itu ditarik balik, maka Allah mengadakan tebusan sebelum pasangan itu menyentuh satu sama lain. Tebusannya ialah memerdekakan seorang hamba, atau sesiapa yang tidak mendapatkannya, maka dia berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang miskin (58:3-4).

Pasangan ini berada dalam keadaan bercerai sekiranya kata-kata itu tidak ditarik balik, atau tebusannya tidak dilakukan.

4. Isteri lari:

Dengan cara automatik, apabila isteri lari kepada orang-orang yang tidak percaya (kafir kepada Allah dan Kitab-Nya), maka gugurlah "talak satu". Firman-Nya, "Dan jika seseorang daripada isteri-isteri kamu lari daripada kamu kepada orang-orang yang tidak percaya, dan kemudian kamu membalas, maka berilah orang-orang yang isteri-isteri mereka telah pergi, yang serupa dengan apa yang mereka telah menafkahkan. Dan takutilah Allah, yang kepada-Nya kamu mukmin (mempercayai)" (60:11). Dalam kes ini, tersebut mengenai bayaran balik kepada bekas suami atas apa yang dia telah menafkahkan (membelanjakan) kepada isterinya.
Kematian

Perpisahan yang paling menyedihkan, atau tahap stress yang tertinggi sekali, ialah apabila teman hidup meninggal dunia. Berpisahlah pasangan suami-isteri itu buat sementara waktu, menunggu Akhirat, di mana mereka akan bersatu semula selama-lamanya. Isteri yang kematian suaminya ditinggalkan peruntukan untuk setahun, dan peruntukan ini ditulis di dalam wasiat suami. Perintah Allah mengenai ini berbunyi, "Dan orang-orang di antara kamu yang mati dan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah mereka membuat wasiat untuk isteri-isteri mereka, peruntukan untuk setahun tanpa mengeluarkannya; tetapi jika mereka keluar, maka tidaklah bersalah ke atas kamu mengenai apa yang mereka buat pada diri-diri mereka sendiri dengan baik" (2:240).
Baik

Sememangnyalah, orang-orang yang takut kepada Allah akan berusaha bersungguh-sungguh untuk menjadi orang-orang yang salih, atau orang-orang yang baik. Mengenai wanita-wanita yang disifatkan baik, Allah telah menjelaskannya dengan ayat berbunyi, "Wanita-wanita yang salih (baik) ialah yang patuh, yang menjaga yang rahsia kerana Allah menjaganya" (4:34).

Allah seterusnya menyebut di dalam al-Qur'an mengenai sifat-sifat wanita yang baik, yang antaranya, adalah yang muslim, mukmin, benar, sabar, merendah hati, bersedekah, berpuasa, mengingat Allah dengan banyak, menyuruh yang baik, melarang yang mungkar, melakukan solat, memberi zakat, atau yang membuat kerja-kerja kebaikan. Wanita-wanita ini tentu menemui kebahagian.
Dituduh

Tersebut juga di dalam al-Qur’an mengenai wanita-wanita yang sudah berkahwin, lagi baik, atau yang mukmin, tetapi kerana kelalaian mereka, mereka dituduh yang bukan-bukan dan menjadi bahan tomahan orang lain. Orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap wanita-wanita tersebut dilaknati di dunia dan di akhirat. Firman-Nya, "Sesungguhnya orang-orang yang membalingkannya (menuduh) kepada wanita-wanita yang berkahwin, yang lalai, tetapi mukmin, akan dilaknati di dunia dan di akhirat; dan bagi mereka, azab yang besar” (24:23).

Amaran daripada Allah yang seterusnya mengenai perbuatan memburuk-burukkan wanita yang baik berbunyi, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang lelaki mukmin, dan orang-orang perempuan mukmin, tanpa apa yang mereka mengusahakan, mereka memikul pengumpatan dan dosa yang nyata” (33:58). Begitulah kedudukan orang-orang yang baik di sisi Allah.
Akhirat

Kebahagian hidup bersama antara suami dan isteri di dunia ini akan disambung semula pada Hari Akhirat, di mana mereka akan bersatu sekali lagi, untuk duduk kekal dalam kebahagian. Inilah idaman yang sebenarnya bagi suami dan isteri, iaitu kebahagian bersama di dunia dan di akhirat. Allah menyebut mengenai kebahagian mereka di syurga di dalam beberapa ayat al-Qur'an, dan antaranya berbunyi, "Sesungguhnya orang-orang Jannah (syurga) pada hari ini sibuk dalam kegembiraan mereka. Mereka dan isteri-isteri mereka bersandar di atas sofa di tempat teduh. Bagi mereka di dalamnya buah-buahan, dan bagi mereka apa yang mereka minta. “Salam” ialah perkataan daripada Pemelihara (Tuhan) yang Pengasih" (36:55-58).

Sepertimana syurga itu kekal bagi orang-orang yang baik, begitulah juga dengan neraka bagi orang-orang yang jahat. Mereka yang dimasukkan ke dalam neraka tidak dikeluarkan darinya, walaupun mereka melafazkan persaksian terhadap Allah dan Rasul semasa mereka hidup di dunia untuk menunjukkan keislaman mereka. Lafaz sahaja tidak mencukupi. Syurga tidak semurah itu.
Doa

Kebahagian hanya datang daripada Allah, maka mohonlah kepada-Nya. Allah Yang Pemurah, dan Yang Pengasih, telah mengajar suami dan isteri sebuah doa untuk kebahagian mereka sekeluarga, dan untuk mereka mendahului dalam ketakwaan, berbunyi "Wahai Pemelihara kami, berilah kami kegembiraan daripada isteri-isteri (atau, suami) kami, dan keturunan kami, dan buatlah kami ketua bagi orang-orang yang bertakwa (takut kepada Tuhan)" (25:74). Mudah-mudahan dengannya, dan dengan usaha yang ikhlas lagi bersungguh-sungguh dalam mentakuti-Nya, para wanita, yang di dalam Islam sebenar, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.

Penulis Bacaan
Ogos 1996
(dikemaskini Julai 2005)

Read More......

Amal Tergantung Niatnya

Semua Amal Perbuatan Tergantung Kepada Niatnya
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها, أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه. {رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما الذين هما أصح الكتب المصنفة}.

Artinya:
Dari Amir Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.” (HR. Dua Imam Muhadditsin (ahli hadits) Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi didalam dua kitab shahih mereka yang keduanya adalah kitab yang paling shahih (benar) yang ditulis (manusia).

Arti Penting Hadits Tersebut
Hadits ini termasuk salah satu dari hadits-hadits penting yang menjadi poros agama Islam. Hadits ini adalah dasar atau azas dalam Islam dan sebagian besar hukum-hukumnya berporos padanya. Hadits ini juga sebagai tolak ukur bagi semua amal batin.
Abu Daud rahimahullah berkata: Sesungguh-nya hadits ini separuh dari agama Islam; karena agama Islam itu meliputi zhahir yaitu berupa amal, dan batin yaitu berupa niat.
Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumallah berkata: Masuk dalam lingkup hadits “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya” sepertiga ilmu; karena usaha seorang hamba itu bisa dengan hati, lisan dan anggota badannya. Adapun niat dengan hati merupakan salah satu dari tiga jenis di atas.
Karena itu para ulama menganjurkan agar memulai kitab-kitab dan karangan-karangan mereka dengan hadits ini. Di antara ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nawawi rahimahumallah. Faedah memulai dengan hadits ini untuk mengingatkan dan memperingatkan para penuntut ilmu agar membenarkan niatnya untuk Wajah Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu dan melakukan kebaikan.

Pelajaran-pelajaran yang Dapat Dipetik dari Hadits Tersebut:
1.Disyaratkan adanya niat.
Para ulama telah bersepakat bahwa segala amal yang dilakukan seorang mukallaf yang mukmin tidak dianggap sah secara syar’i dan tidak berpahala jika ia mengerjakannya kecuali disertai dengan niat.
2.Waktu niat dan tempatnya.
Waktu niat di awal melakukan ibadah, seperti takbir ihram ketika shalat; ihram ketika haji; sedangkan niat puasa maka dilakukan sebelumnya karena sulitnya mengetahui fajar. Adapun tempatnya niat di dalam hati, maka tidak disyaratkan melafazhkan atau mengucapkan niat, bahkan hukumnya bid’ah (hal-hal baru dalam ajaran Islam yang tiada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabatnya, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.)
3.Wajibnya hijrah.
Hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam hukumnya wajib bagi setiap muslim yang tidak memungkinkan untuk menampakkan keislamannya. Hukum ini kekal sampai hari Kiamat. Hijrah juga berarti hijrah (meninggalkan) dari hal-hal yang dilarang oleh Allah Ta’ala.
4.Barangsiapa yang berniat melakukan amal shalih, lalu ada udzur (halangan) –berupa: sakit, kematian, dan lainnya- yang merintanginya untuk melakukannya, maka ia memdapatkan pahala karena niatnya tersebut.
5.Perintah untuk mengikhlaskan segala amal dan ibadah hanya untuk Allah semata sehingga mendapatkan pahala dan balasan yang baik di akhirat, dan diberikan taufiq dan keberuntungan di dunia.
6.Setiap amal yang baik dan bermanfaat, apabila dilakukan dengan niat yang baik disertai dengan keikhlasan, mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dan mengikuti cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi suatu ibadah.
7.Ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala dalam beramal merupakan salah satu syarat diterima-nya suatu amal; karena Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amal kecuali jika dilakukan dengan ikhlas karena Wajah Allah Ta’ala.

(SUMBER: Al-Waafii fii Syarhi al-Arba’iina an-Nawawiyyah, karya DR. Mushthafa al-Bagha dan Muhyiddin Dîb Mistu)





Read More......

Keutamaan Tasbih

Secara bahasa, kata Tasbîh berasal dari kata kerja Sabbaha Yusabbihu yang maknanya menyucikan. Dan secara istilah, kata Tasbîh adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ . Ucapan ini merupakan dzikir kepada Allah yang merupakan ibadah yang agung.

Dalam hal ini, terdapat banyak kaidah di dalamnya dimana secara global dapat dikatakan bahwa setiap kaidah yang digunakan untuk menolak perbuatan bid’ah dan berbuat sesuatu yang baru di dalam agama,
maka ia adalah kaidah yang cocok untuk diterapkan pula pada beberapa parsial (bagian) penyimpangan di dalam berdzikir dan berdoa, karena dzikir, demikian juga doa, adalah murni masalah ‘ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Sedangkan kaidah dari semua kaidah di dalam hal tersebut adalah bahwa semua ‘ibadah bersifat tawqîfiyyah, yang diformat dalam ungkapan,

“Melakukan ibadah hanya sebatas nash dan sumbernya.”

Kalimat tersebut direduksi dari nash-nash yang beragam, diantaranya hadits shahih yang menyatakan bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barangsiapa yang melakukan sesuatu yang baru di dalam urusan kami ini (agama) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak.”

Dan hadits shahih yang lainnya bahwasanya Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda,

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap sesuatu yang baru (diada-adakan) maka ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan (tempat pelakunya) adalah di neraka.”

Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati di dalam melakukan suatu bentuk ibadah dan harus selalu mengacu kepada dalil-dalil yang jelas dan shahih serta kuat yang terkait dengannya sebab bila tidak, maka dikhawatirkan amal yang dilakukan tersebut justeru menjerumuskan pelakunya ke dalam hal yang disebut dengan Bid’ah tersebut sekalipun dalam anggapannya hal tersebut adalah baik.
Tentunya, di dalam kita melakukan apapun bentuk ibadah, termasuk dalam hal ini, dzikir, harus mengikuti (mutaba’ah) kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam sehingga kita tidak menyimpang dari manhaj yang telah digariskannya. Perlu diketahui bahwa mutâba’ah tersebut tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara:
Pertama,
sebab Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh: ada orang yang melakukan shalat tahajjud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam (dinaikkkan ke atas langit). Shalat tahajjud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini – yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebabnya- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua,
jenis Artinya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan qurban yaitu onta, sapi dan kambing.
Ketiga, kadar (bilangan). Kalau ada seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan raka’atnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak shah.
Keempat,
kaifiyyah (cara) Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka, maka tidak sah wudhu’nya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syar’ait.
Kelima,
waktu Apabila ada orang menyembelih binatang qurban pada hari pertama bulan dzul hijjah, maka tidak shah karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam. Misalnya, ada orang yang bertaqarrub kepada Allah pada bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah bid’ah karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah kecuali sebagai qurban, denda haji dan ‘aqiqah. Adapun menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i’tikad mendapat pahala atas sembelihan tersebut sebagaimana dalam idul Adhha adalah bid’ah. Kalau menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam,
tempat Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak shah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushallla di rumahnya, maka tidak shah I’tikafnya karena empat melakukannnya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.
Contoh lainnya:
seseorang yang melakukan thawaf di luar masjid haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, thawafnya tidak shah karena tempat melakukan thawaf adalah dalam baitullah tersebut, Allah berfiman: “dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. (Q.S. al-Hajj: 26).
Terkait dengan kajian hadits kali ini, tema yang kami angkat adalah masalah keutamaan Tasbih, yaitu ucapan seperti yang disebutkan dalam hadits di bawah ini, dan lafazh semisalnya yang terdapat di dalam hadits-hadits yang lain. Lafazh Tasbih dalam hadits kita kali ini, bukanlah satu-satunya lafazh yang memiliki nilai amal yang tinggi, ada lagi lafazh-lafazh yang lainnya yang bisa di dapat di dalam buku-buku tentang dzikir atau bab-bab tentang dzikir dalam kitab-kitab hadits.
Dzikir kita kali ini adalah dzikir yang terdapat di dalam hadits yang shahih dan telah disebutkan kapan waktunya, yaitu bisa dilakukan setiap hari namun tidak disebutkan lebih lanjut kapan tepatnya, sehingga dapat dikategorikan mengenai waktu yang tepatnya ini ke dalam dzikir yang mutlak alias kapan saja, di luar dzikir-dzikir yang telah ditentukan waktunya.
Semoga kita dapat memaknai, menghayati dan mengamalkannya sehingga tidak luput dari pahala yang sedemikian besar ini. Amin.
Naskah Hadits
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ ِمائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ .
Dari Abu Hurairah radliyallâhu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Subhânallâhi Wa Bihamdihi’ di dalam sehari sebanyak seratus kali, niscaya akan dihapus semua dosa-dosa (kecil)-nya sekalipun sebanyak buih di lautan.” (HR.al-Bukhariy)
Faedah Hadits
Hadits diatas menyatakan keutamaan dzikir (Subhânallâhi wa bihamdihi) yang mengandung makna Tasbih (penyucian) terhadap Allah Ta’ala dan penyucian terhadap-Nya pula dari hal-hal yang tidak layak dan pantas bagi-Nya, seperti memiliki kekurangan-kekurangan, cacat-cela dan menyerupai semua makhluk-Nya.
Hadits tersebut juga mengandung penetapan segala pujian hanya kepada-Nya baik di dalam Asma` maupun shifat-Nya. Dia-lah Yang Maha Hidup sesempurna hidup; kehidupan yang tiada didahului ketiadaan (yakni bukan dalam arti; sebelumnya tidak ada kehidupan lalu kemudian ada) dan tiada pula kehidupan itu akan pernah hilang/sirna.
Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah dan memuji-Nya sebanyak seratus kali di dalam sehari semalam, maka dia akan mendapatkan pahala yang maha besar ini. Yaitu, semua dosa-dosa (kecil)-nya dihapuskan dengan mendapatkan ma’af dan ampunan-Nya, sekalipun dosa-dosa tersebut sebanyak buih di lautan. Tentunya, ini merupakan anugerah dan pemberian yang demikian besar dari-Nya.
Para ulama mengaitkan hal ini dan semisalnya sebatas dosa-dosa kecil saja sedangkan dosa-dosa besar tidak ada yang dapat menghapus dan menebusnya selain Taubat Nashuh (taubat dengan sebenar-benarnya).
Imam an-Nawawiy berkata, “Sesungguhnya bila dia tidak memiliki dosa-dosa kecil, maka semoga diharapkan dapat meringankan dosa-dosa besarnya.”
Rujukan:
1. Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh. ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassâm, Jld.VI, Hal.409)
2. Tashhîh ad-Du’â’ karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Hal. 39
3. Kesempurnaan Islam Dan Bahaya Bid’ah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah





Read More......

Sabtu, 15 Desember 2007

Seputar Ta'addud (Poligami)

Islam telah mensyari’atkan Ta’addud (polygami) sebagai salah satu pemecahan bagi problematika rumah tangga, khususnya manakala sebuah rumah tangga sudah diambang kehancuran.

Bila sebuah rumah tangga sudah tidak lagi harmonis dan hubungan suami-isteri selalu diwarnai oleh pertengkaran bahkan pengkhianatan (baca: perselingkuhan), maka kehancurannya hanya tinggal menunggu waktu.


Secara logika, dalam kondisi yang sudah sampai ke taraf demikian itu, sangat sulit untuk memulihkan kembali hubungan tersebut seperti semula dan kalaupun bisa, maka akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka, jalan satu-satunya – bila masih menghendaki tetap utuhnya rumah tangga dan tidak menghendaki kehancuran itu adalah dengan cara berdamai dan mengalah tetapi halal.

Dalam hal ini, kita mendapatkan keteladanan dari salah seorang Ummul Mukminin, yaitu Saudah binti Zam’ah.

Dia memiliki sikap yang perlu di tiru oleh setiap wanita shalihah, sikap yang menampilkan sosok seorang isteri shalihah, seorang Ummul Mukminin yang menyadari bahwa dirinya harus menjadi suriteladan yang baik bagi kaum Mukminat di dalam mempertahankan keutuhan sebuah rumah tangga.

Singkatnya, bahwa Rasulullah sebagai manusia biasa memiliki perasaan suka dan tidak suka secara alami. adalah Saudah wanita pertama yang dinikahinya setelah wafatnya, Khadijah. Dia seorang janda dan sudah berusia, namun karena ketabahan dan keimanannya-lah, beliau Shallallâhu 'alaihi wa sallam kemudian menikahinya dan memuliakannya sebagai Ummul Mukminin.

Setelah beberapa lama berumah tangga, dan Rasulullah juga setelah itu sudah memiliki isteri-isteri yang lain, tampak ada perubahan sikap dari diri beliau terhadapnya seakan-akan sudah tidak menginginkan serumah lagi dengannya alias ingin menceraikannya. Sikap ini ditangkap dengan baik oleh Saudah dan gelagat yang tidak menguntungkan dirinya ini dia manfa’atkan momennya, yaitu dengan suka rela dia mau berdamai dan mengalah, demi keutuhan rumah tangga dan mempertahankan martabatnya yang telah dimuliakan sebagai Ummul Mukminin. Artinya, dia dengan rela dan ikhlash memberikan jatah gilirnya kepada isteri Rasulullah yang lain, yaitu ‘Aisyah radliyallâhu 'anha.

Menyadari akan maraknya fenomena yang tidak mendidik bahkan menyesatkan, khususnya, tayangan-tayangan dalam media elektronik seperti sinetron-sinetron yang berusaha merusak tatanan rumah tangga kaum Muslimin dan sengaja memprovokasi kaum ibu agar melawan ‘pengungkungan’ terhadap hak wanita – dalam anggapan mereka – dengan memilih ‘cerai’ ketimbang ‘dimadu’, dan sebagainya; maka kami memandang perlunya mengangkat tema ini, paling tidak, guna menggugah kaum wanita secara keseluruhan dan para isteri-isteri shalihah secara khusus. Semoga bermanfa’at dan dapat dijadikan bahan renungan dan pertimbangan oleh setiap kaum wanita. Wallahu a’lam. (red.)

Naskah Hadits
عَنْ عَائِشَةَ «أَنَّ سَوْدَةَ بِنْتَ زَمْعَةَ وَهَبَتْ يَوْمَهَا لِعَائِشَةَ, وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقسِمُ لِعَائِشَةَ بِيَوْمِهَا وَيَوْمِ سَوْدَةَ». متفق عليه
“Dari ‘Aisyah–radliallâhu 'anha bahwasanya Saudah binti Zam’ah–radliallâhu 'anha telah memberikan jatah gilirnya kepada ‘Aisyah, dan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam telah menggilir ‘Aisyah (pada jatah gilirnya) plus jatah gilir Saudah”. (Muttafaqun ‘alaih)

Takhrij Hadits Secara Global
Di dalam kitab Bulûghul Marâm karya Syaikh Ibn Hajar al-‘Asqalâny menyebutkan bahwa hadits diatas, diriwayatkan secara sepakat oleh Imam Bukhari dan Muslim. Namun, kami tidak mendapatkan riwayat dari Imam Muslim yang sama seperti lafazh tersebut.
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
Beberapa Pelajaran Dari Hadits
Saudah binti Zam’ah al-Qurasyiyyah al-‘آmiriyyah adalah isteri kedua dari Rasulullah disamping isteri-isteri yang lain. Beliau menikahinya setelah Khadijah wafat. Saat telah berumah tangga dengan beliau, usianya sudah tua dan kondisinya semakin lemah. Karenanya, dia khawatir, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menceraikannya sehingga dirinya akan kehilangan martabat yang mulia dan nikmat yang agung sebagai salah seorang isteri Rasulullah. Dari itu, dia dengan ikhlas merelakan jatah gilirnya kepada ‘Aisyah asalkan dapat tetap menjadi isteri beliau. Beliau-pun menerima cara yang dia lakukan ini. Dan tatkala Rasulullah wafat, dia masih tetap berpredikat sebagai salah seorang dari Ummahâtul Mukminîn.

Abu Dâwud ath-Thayâlisy meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs, dia berkata: “Saudah khawatir dithalaq oleh Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, lalu dia berkata kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah! Janganlah engkau menthalaqku dan jadikanlah jatah gilirku untuk ‘Aisyah!’. Beliau pun setuju melakukan itu sehingga turunlah ayat ini:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرُُ

“Dan jika seorang wanita (isteri) khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”.(Q.,s.an-Nisâ`/04:128)

Dan di dalam kitab ‘ash-Shahîhain’ (Shahîh Bukhâry dan Muslim) dari ‘Aisyah, dia berkata: “Tatkala usia Saudah sudah senja (tua), maka dia memberikan (secara sukarela) jatah gilirnya kepada ‘Aisyah. Lalu, Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam membagikan jatah gilirnya tersebut untuk ‘Aisyah”.
Hadits diatas mengindikasikan kebolehan berdamai antara suami-isteri. Hal ini bisa dilakukan ketika si isteri merasa suaminya sudah mulai menjauhi atau berpaling darinya sementara dia sendiri takut untuk diceraikan seperti bilamana terputus seluruh haknya atau sebagiannya dari pembagian nafkah, pakaian, tempat tinggal dan sebagainya yang semula adalah bagian dai kewajiban suami terhadapnya. Sedangkan suami, boleh menerima hal itu darinya dan si isteri tidak berdosa dengan memberikan jatah gilirnya. Demikian pula, dia tidak berdosa bila menerimanya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: “maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)”. Artinya, bahwa perdamaian itu lebih baik daripada berpisah dan bercerai.

Tindakan yang dilakukan oleh Ummul Mukminin, Saudah radliallâhu 'anha adalah tindakan yang bijaksana sekali. Karenanya, berdasarkan riwayat yang shahih, ‘Aisyah pernah mengomentarinya: “Tidak ada orang yang aku lebih suka menjadi selumur (kulit luar selongsong ular) baginya (selain) dari Saudah”. Hal itu diucapkannya karena sedemikian kagumnya dia terhadap sikap Saudah. Saudah wafat pada akhir masa kekhalifahan ‘Umar radliallâhu 'anhu.

Para ulama berkata: “Bila seorang isteri memberikan jatah gilir hari dan malamnya untuk salah seorang isteri yang lain (madu) dari suaminya, maka hal itu tidak menjadi keniscayaan bagi hak sang suami dan tidak berpengaruh besar. Jadi, dia boleh saja mendatangi si pemberi jatah gilirnya ini atau tidak rela bersamanya karena sudah cukup dengan isteri yang lainnya. Tetapi jika dia (suami) rela maka hal itu boleh”.

Jika si suami memiliki banyak isteri (tiga orang atau empat orang), lalu isteri yang merelakan jatah gilirnya ini menentukan kepada salah seorang diantara madu-madunya tersebut, maka hal itu dianggap berlaku secara hukum sebagaimana dengan kisah Saudah terhadap ‘Aisyah diatas. Tetapi, jika dia membiarkan jatahnya itu tanpa menentukan kepada siapa diantara madu-madunya itu yang dia beri, maka hendaknya si suami menyamakan jatah yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, tidak memasukkan lagi jatah gilir si pemberi tersebut.

Isteri yang telah memberikan jatah gilirnya kepada madunya boleh saja menarik kembali pemberiannya itu dari suaminya kapanpun dia menghendaki sebab hukum asal semua pemberian (Hibah) adalah dibolehkan menarik/mengambilnya kembali selama belum dipegang (disepakati perjanjiannya) baik untuk yang sekarang maupun untuk yang akan datangnya. Wallahu a’lam.
(Diambil dari Kitab Tawdlîh al-Ahkâm Min Bulûgh al-Marâm, karya Syaikh ‘Abdullah آli Bassam, Jld. IV, Hal. 519-520, No. 921).




Read More......

Hak Isteri Atas Suami

Allah berfirman :
Dan bergaullah dengan mereka (Istri-istrimu) secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. 4:19)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Ya Allah sungguh saya menimpakan kesusahan (dosa) kepada orang yang menyia-nyiakan hak dua macam manusia yang lemah yaitu : anak yatim dan wanita ) HR. Nasa'i.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena dia diciptakan dari tulang rusuk, dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian yang paling atas, kalau kamu meluruskannya maka kamu telah mematahkannya.. Muttafaq 'alaihi.

Dari Hakim bin Mu'awiyah dari bapaknya bahwa bapaknya berkata: wahai Rasulullah ! apakah hak seorang istri yang harus dipenuhi oleh suaminya? maka beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : kamu memberi makan kepadanya jika kamu makan, dan kamu memberinya pakaian jika kamu berpakaian dan engakau tidak memukul mukanya, tidak menjelek-jelekkannya (tidak berkata: semoga Allah memburukkan wajahmu) dan tidak meninggalkannya kecuali dalam rumah. HR M. Abu Daud.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : (janganlah seorang mu'min membenci wanita mu'minah, karena jika ia membenci suatu sifatnya, maka dia akan ridha yang lainnya darinya.) HR. Muslim.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : orang mu'min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya dan orang-orang terbaik di antara kamu adalah yang terbaik kepada istri-istrinya. HR. Tirmidzi.
Dari 'Amr bin Ahwash radhiyallahu 'anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda pada waktu hajji wada' : ingatlah (saya berwasiat kepada kamu agar berbuat baik pada kaum wanita, maka terimalah wasiatku ini terhadap mereka) dan berbuat baiklah kepada kaum wanita, karena sesungguhnya mereka pada sisi kalian bagaikan tawanan, dan kamu tidak memiliki dari mereka selain itu. HR. Tirmidzi.

Keterangan singkat :
Sebagaimana kaum lelaki mempunyai hak atas istri-istri mereka, demikian pula kaum wanita mempunyai hak atas suami-suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah kecuali jika setiap suami dan istri memenuhi hak-hak di antara mereka.

Kesimpulan :
Istri mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh suaminya.
Wajib berbuat baik kepada kaum wanita.
Bimbingan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar selalu bersabar terhadap wanita dan berlemah-lembut kepadanya.
Bahwa wanita pada suaminya bagaikan tawanan yang lemah, oleh karenanya dia harus dikasihani, dibimbing, dilindungi dan diberikan hak-haknya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebankan dosa kepada mereka yang menyia-nyiakan hak wanita yang berada di bawah tanggungannya.
Bahwa orang yang terbaik di antara kita adalah mereka yang terbaik bagi istri-istrinya.






Read More......

Rabu, 12 Desember 2007

Uji Coba

maaf yaa belum dapat diposting lebih ,
ini cuma untuk uji coba aja kok, ya nanti klo ad wktu saya posting ap aj de3h yg bermanfat.
maap banget bg yang tlah membuka

Read More......